Penulis: Misbahul Jannah (Mahasiswa Semester 6 Fakultas Hukum, Prodi Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura)
LENSANESIA.COM – Rancangan Undang-Undang tentang penyiaran (RUU Penyiaran) merupakan inisiatif legislatif yang mana berpotensi besar untuk mengelola dan mengendalikan penyiaran terestrial di Indonesia.
Hal tersebut telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan pakar media. Dalam konteks yang lebih luas, RUU ini tidak hanya berdampak pada operasional media namun juga mencerminkan keseimbangan antara perlindungan kebebasan berekspresi dan potensi pembatasan terhadap hak tersebut.
Salah satu pertanyaan sentral yang saat ini sedang dipertimbangkan adalah sejauh mana peraturan ini akan memprioritaskan perlindungan atau bertujuan untuk membatasi kebebasan pers.
BACA JUGA :
Dinamika Kebebasan dan Tanggung Jawab Jurnalis Terhadap Peraturan Pidana Pers
Selain itu terkait dengan standar isi siaran (SIS) yang mencakup pembatasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran dan kewenangan KPI yang tidak selaras atau terjadinya tumpang tindih dengan yurisdiksi Dewan pers.
Seperti yang ditunjukkan dalam draft RUU tertanggal 27 maret 2024, dimana amandemen RUU Penyiaran secara signifikan membatasi aktifitas pers dan kebebasan berekspresi secara luas.
Negara dalam hal ini pemerintah, kembali memiliki niat untuk melakukan kontrol berlebihan terhadap pergerakan warganya. Tentu hal ini tidak hanya berdampak pada pelanggaran kebebasan pers, namun juga melanggar hak masyarakat atas informasi.
BACA JUGA :
Kekerasan Terhadap Jurnalis Merupakan Bentuk Kriminalisasi Terhadap Demokrasi
Terlihat jelas bahwa hal tersebut mengkhianati semangat mewujudkan negara demokrasi yang dicapai melalui Undang-Undang No. 40 tahun 1999 terkait dengan Jurnalisme, dimana dalam UU tersebut mencakup melindungi pekerja jurnalistik dan menjamin penghormatan terhadap hak publik atas informasi.
Point penting terkait dengan implikasi RUU Penyiaran terhadap kebebasan pers dan media adalah “Larangan Penayangan Eksklusif Jurnalisme Investigasi”, dalam RUU Penyiaran pasal 50 B ayat (2) huruf c mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi meskipun dibalik adanya pasal ini adalah untuk mencegah monopoli penayangan eksklusif oleh satu media atau kelompok media, banyak pihak yang mengkritik hal tersebut karena berpotensi untuk mengancam kebebasan pers.
RUU penyiaran memperburuk situasi yang ada terkait dengan kebebasan untuk berekspresi. Skor indikator kebebasan berekspresi selalu rendah dan tidak mendekati angka moderat dimana seharusnya konten dan produk jurnalisme tetap menjadi yuridiksi Undang-Undang no, 40 tahun 1999 tentang Pers.
BACA JUGA :
Pro Kontra Terhadap Beberapa Hal yang Mengacu Pada Revisi Undang-undang Penyiaran di Indonesia