Lensanesia.com – Dewasa ini istilah mental illness atau gangguan mental sudah tidak asing lagi di telinga. Gencarnya pembahasan terkait kesehatan mental di media sosial membuat mental illness yang sebelumnya dianggap tabu menjadi hal lumrah yang dibicarakan masyarakat terutama remaja.
Besarnya keingintahuan masyarakat mengenai kesehatan mental mendorong mereka untuk saling berbagi informasi mengenai kesehatan mental, mulai dari macam-macam gangguan mental, ciri-ciri, hingga cara membangun mental yang sehat.
Dilansir dari kemenkes.go.id gangguan mental merupakan sebuah kondisi kesehatan yang mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya. Dimana gangguan ini bisa ringan hingga parah, yang dapat memengaruhi seseorang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Penyebaran informasi yang sangat cepat melalui media sosial membuat masyarakat mulai sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Namun, informasi yang beredar terkait kesehatan mental dan gangguan mental ini terkadang patut dipertanyakan kevalidannya. Informasi yang kurang valid tanpa disadari akan memancing sebuah pandangan baru, dimana kebanyakan masyarakat terutama remaja menganggap bahwa kesehatan mental dan penyakit mental merupakan hal yang menarik dan meromantisasikan hal tersebut.
Romantisasi sendiri dapat diartikan sebagai pandangan mengenai sesuatu yang dianggap lebih indah daripada sebenarnya. Kondisi ini kerap diartikan sebagai beautifully painful atau dengan kata lain anggapan bahwa gangguan mental adalah sesuai yang menarik. Dalam hal ini gangguan mental digambarkan sebagai kondisi yang estetik, keren, dan lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebenarnya.
Adanya tren romantisasi mental illness ini membuat orang-orang terutama remaja secara terbuka mengklaim bahwa dirinya memiliki gangguan mental. Mereka dengan bangga memamerkan bahwa dirinya mempunyai gangguan mental, dan hal tersebut dianggap keren. Depresi, anxiety, Obsessive-Complisive Disorder (OCD), dan bipolar menjadi topik kelas atas yang sering diperbincangkan.
Bahkan mereka acapkali secara sengaja memunculkan gejala gangguan mental agar terlihat mengidap hal tersebut. Dilansir dari jurnal Young Adults’ Mental Illness Aesthetics on Social Media, ada tujuh mediator yang teridentifikasi menjadi penyebab “pengestetikan” gangguan mental, diantaranya Tumblr, media, perilaku mencari perhatian orang, mekanisme coping, victimhood, emo culture, dan kesadaran akan kesehatan mental. Yang dimaksudkan media di sini adalah Televisi, media sosial, film, buku, dan lain sebagainya yang sangat berperan besar dalam penyebaran informasi.
Maraknya glorifikasi gangguan mental ini dapat berdampak buruk, dimana akar permasalahan dari adanya glorifikasi ini adalah self diagnosed. Anggapan bahwa gangguan mental merupakan hal yang indah, dapat menajdikannya sesuatu yang ingin dimiliki. Sehingga apabila menemukan informasi dan mendapati gejala yang sama maka mereka langsung melabeli dirinya sebagai seorang penderita. Hal ini menjadikan munculnya sebuah pandangan bahwa mental illness adalah hal yang sepele sehingga tidak perlu diobati karena merupakan sesuatu yang indah.
Semakin banyak orang yang mengklaim dirinya mengalami gangguan mental di media sosial tanpa diagnosis resmi dari profesional, maka akan berdampak besar pada pengidap gangguan mental yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan orang-orang dengan gangguan mental yang sesungguhnya cenderung tidak berani untuk mengungkapkan perasaan mereka karena takut akan adanya judgement. Tapi ketika orang-orang meromantisaisi akan menciptakan statemen merendahkan, contohnya ada yang mengatakan “Aku kemarin habis putus depresi banget, tapi setelah liburan depresiku hilang. Kamu kalau depresi liburan aja biar sembuh”. Padahal pada kenyataanyya gangguan mental lebih kompleks daripada itu.
Dilansir dari its.ac.id inilah beberapa ciri seseorang yang kerap meromantisasikan gangguan mental.
- Dengan Mudah Menjustifikasi Perasaan Negatif sebagai Gangguan Mental
Dapat diartikan bahwa seseorang mendramatisasi perasaan sedih mereka dan menyimpulkan adanya depresi pada mentalnya. Padahal, permasalahan yang dihadapi sesungguhnya tidak mencerminkan masalah psikologis tersebut.
- Kerap Menglorifikasi Gangguan Mental sebagai Hal yang Estetik
Memposting gambar menyakiti diri sendiri di media sosial dianggap estetik, menulis kutipan tentang agresi dianggap estetik, bahkan kecemasan terkait depresi dianggap estetik. Padahal, seperti dikutip dalam Kamus Cambridge, alih-alih estetika, gangguan jiwa merupakan masalah kompleks yang perlu ditangani lebih dalam.
- Menolak Upaya Healing dan Terus Merasa ‘Baik-Baik Saja’
Jika merasa ada yang tidak beres dengan mental kita, hal yang tepat dilakukan adalah berkonsultasi dengan profesional. Bukan dengan terang-terangan dan konsisten mengunggah konten-konten yang mengarah pada romantisasi gangguan mental.
Media sosial memegang pernanan penting dalam membentuk presepsi masyarakat. Media yang seharusnya menjadi tempat penyebaran informasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental, justru menjadi bumerang dan memancing adanya romantisasi. Maka dari itu perlu adanya pembenahan, dimana media harusnya mengimbangi dan memberikan informasi yang akurat agar tidak menimbulkan miskonpsi. Selain itu, orang-orang dengan pemahaman yang baik dan expert hendaknya menggiring pola pikir masyarakat yang baru dan menanamkan bahwa gangguan mental tidak boleh diromantisasikan. Semua orang bertanggung jawab untuk menghentikan tren romantisasi gangguan mental ini dengan mulai dari disi sendiri.
Depression Is Not Pretty: Stop Romanticizing It ***